Ada Tokoh PKI di Balik Pidato 'Bernas' Bung Karno

Kamis, 08 November 2018 - 09:46:00 WIB

ilustrasi (sumber;internet)

JAKARTA - Di Istana Tampaksiring, Bali, mestinya Bung Karno berniat beristirahat dengan tenang. Tapi hari itu dia justru tampak kurang tenang, kelihatan gelisah. Peringatan Hari Kemerdekaan pada 17 Agustus 1965 kurang beberapa pekan lagi. Tapi justru Njoto yang dia tunggu tak tampak batang hidungnya. 

Hingga beberapa hari kemudian, setelah malam sebelumnya meninjau Depo Pertamina di Plumpang, Jakarta Utara, dan sempat menyantap sate di Cilincing, pagi harinya Bung Karno muntah-muntah. "Mangil...." Bung Karno memanggil pengawal pribadinya, Mangil Martowidjojo. "Celukno Njoto, Panggilkan Njoto."

Mangil yang dapat perintah kebingungan. Bung Karno muntah-muntah, sementara dia tahu, Njoto bukan seorang dokter. "Dawuh menopo, Pak?" Mangil bertanya kepada Presiden. Sembari bersandar di kasur dan membaca koran, Bung Karno menyahut, "Iki wis sasi Agustus, Bapak kudu pidato. Yen ora pidato, bubar Indonesia." (Ini sudah bulan Agustus, Bapak harus berpidato. Kalo tidak berpidato, bisa bubar Indonesia).

Sudah beberapa lama Njoto jadi penulis pidato untuk Presiden Sukarno. Meski sudah punya Roeslan Abdoelgani dan tim penulis pidato di bawah Wakil Perdana Menteri Soebandrio, konon Bung Karno merasa lebih cocok dengan gaya pidato yang disusun oleh Njoto. Sebagai mantan Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda PKI, Njoto tentu saja tak asing bagaimana cara memilih kata-kata yang membakar massa.

Lahir dari keluarga bangsawan Jawa di Jember, Jawa Timur, dengan nama Koesoemo Digdojo, entah karena alasan apa, dia memilih nama yang sangat ringkas dan sederhana: Njoto. Sejak muda, Njoto sudah kenal dengan komunisme. Setelah PKI sempat babak belur gara-gara peristiwa Madiun 1948, D.N. Aidit, M.H.Lukman dan Njoto, membangkitkan dan berhasil membesarkan partai komunis itu.

"Bung Karno merasa pemikirannya cocok dengan Njoto," ujar almarhum Joesoef Isak, sahabat Njoto, dikutip buku, Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara. Menurut Joesoef, Bung Karno menyukai Njoto yang jauh lebih muda karena dia satu-satunya pimpinan Partai Komunis yang 'liberal', pragmatis, dan tak dogmatis. Apalagi Njoto juga pintar memainkan alat musik dan tak canggung dalam pesta. "Kehebatan Njoto terletak dalam cara mengemas gaya bahasa Bung Karno, menempatkannya dalam pikiran politiknya."