Kisah Wanita Pengantar Makanan Para Pejuang Kemerdekaan yang Terlupakan

Selasa, 13 Agustus 2019 - 09:23:00 WIB

JAKARTA - Negeri ini telah meraih kemerdekaan 74 tahun silam. Namun, kemerdekaan itu tidak serta merta didapatkan begitu saja. Perjuangan dan pengorbanan berupa nyawa, darah, keringat dan air mata telah dicurahkan demi meraih kemerdekaan yang hakiki.

Banyak orang menilai para pahlawan adalah mereka yang berjuang mengangkat senjata melawan penjajah. Padahal banyak pejuang yang berjuang di 'balik layar', dengan membawa makanan dan surat untuk diberikan kepada pejuang yang sembunyi di hutan dan di area persawahan.

Kisah Ukarnah (84), warga Cicinde Utara, Kecamatan Banyusari, Karawang, yang akrab disapa Mak Ukar, walaupun usianya sudah renta namun masih mengingat kenangan saat bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda dana Jepang. Mak Ukar diusia yang sudah sepuh tidak berdiam diri, masih mampu berjalan jauh, sehari-hari membuat bunga kertas dari sisa-sisa kertas yang dibuang lalu dirangkai menjadi bunga dan dijual untuk sekedar uang saku dari pemerian pemesan.

Dia mengaku masih mengingat bahasa Belanda sepotong-sepotong. Pendengarannya masih normal saat dijumpai di rumahnya dengan didampingi sang putra. Dia menuturkan saat berjuang di balik layar kemerdekaan ini.

Cerita anak ketua kampung di Kampung Cisital, Desa Cimayasari, Kecamatan Cipendey, Subang, saat masih bersuai 5 tahun, sudah ikut berjuang di balik layar dengan mengirim makanan untuk para pejuang yang sembunyi di area pesawahan dan sembunyi di balik hutan Lingga.

"Waktu masih dijajah Belanda usia masih 5 tahun, sering membawa makanan untuk pejuang yang sembunyi, kadangkala surat dari TNI untuk disampaikan kepada pejuang," kata Mak Ukar, ditemui di tempat tinggal.

Dia menceritakan setiap ketemu Belanda sering disebut Noni dan memberikan sepotong roti yang disimpan dalam bakul ditutup dedauanan. Makanan pesanan untuk diberikan kepada pejuang oleh bapaknya, Mak Ukar berusaha jalan jauh supaya makanan itu sampai kepada pejuang yang sedang sembunyi bersama dua teman gadisnya Sarneci dan Sarkonah.

"Setiap jalan mengantarkan makanan kepada pejuang selalu bertiga, namun dua temannya sudah menghadap ke Hyang Tunggal," katanya.

Wanita renta berumur 84 tahun ini masih ingat betul dalam kerutan di dahinya bagaimana menyembunyikan rasa takut saat ketemu Belanda dan Jepang ketika membawa pesan tersebut. Baik makanan maupun menyampaikan surat dari TNI kepada pejuang yang berada di balik hutan.

"Darah daging sebagai bangsa Indonesia, tidak ada rasa takut saat ikut berjuang membawa pesan maupun makanan," tegasnya.

Bagi Mak Ukar, saat masih menginjak usia mudanya, membawa makanan ataupun pesan bagi para pejuang yang bersembunyi dari incaran para penjajah tak mudah. Tetapi dengan tekad yang kuat sebagai anak Ketua Kampung makanan dan pesan sampai kepada pejuang.

Mak Ukar, merupakan satu dari sekian banyak pejuang yang merasakan pahitnya masa-masa penjajahan Belanda dan Jepang, dalam merebut kemerdekaan. Namun sayangnya, perjuangan seperti dianggap sebelah mata oleh pemerintah daerah setempat. Bahkan dia tidak terdaftar sebagai veteran. Alasannya karena keluarga dinilai cukup mampu, bukan masuk dalam daftar merah atau keluarga kurang mampu bapaknya Uju Juhari hanya sebagai ketua kampung.

"Emak dulu kalau bawa makanan itu harus disembunyikan di dalam kayu bakar, atau daun pisang, itu bolak balik mencari pejuang untuk memberikan makan. Saat balik, kayu bakar itu harus dibawa lagi, biar tidak ketahuan tentara penjajah," ujarnya.

Suka dan duka terus dialami Mak Ukar semasanya, untuk memberikan makan kepada para pejuang. Sukanya, di mana mampu membantu para pejuang untuk memberikan tenaga melalui makanan. Sedangkan dukanya jika ketahuan para penjajah, tentu ancaman berat bakal diterima.

"Kalau zaman Jepang itu masih mending, tapi kalau zaman Belanda lebih keras, karena di bawah jajahan Belanda yang mengalami langsung," tuturnya.

Dia juga menceritakan pada zaman Jepang, ikut bersama uwak di Bandung dan dengan identitas baru sebagai anak uwak akhirnya bisa mengenyam pendidikan di sekolah rakyat hingga lulus.

"Zaman Jepang sudah masuk sekolah rakyat di Bandung, ikut kakaknya bapak," tutur Ibu dari lima anak.

Lepas dari itu, Indonesia akhirnya merdeka dengan penuh. Namun tak begitu bagi Mak Ukarnah, tak ada penghargaan yang diterimanya.

Pengorbanan dan perjuangannya yang dikibarkannya seakan dilupakan. Mak Ukarnah hilang di tengah gegap gempita kemerdekaan. Namun sayang, perjuangan berat Mak Ukarnah ini tidak mendapatkan penghargaan apapun, seperti pejuang-pejuang lain yang mendapatkan penghargaan sebagai veteran.

"Dulu memang ada pendataan, tapi memang tidak ada yang mengurus, dan harus mengeluarkan biaya akhirnya tidak jadi mendaftar" kata Mak Ukar.*