1.380 Masjid Vs 6 Mal

Selasa, 19 Mei 2020 - 10:41:00 WIB

SIANG Senin, Walikota Pekanbaru didatangi oleh Ketua Umum MUI, Ketua Baznas, ketua IKMI Riau, Sekum MDI Kota Pekanbaru di rumah dinas. Kedatangan mereka bertujuan untuk berdiskusi dan menyampaikan aspirasi ummat berkenaan PSBB khususnya tentang larangan salat Tarawih, Jumat dan Idul Fitri yang akan datang.

Diskusi berjalan serius dan sedikit tegang. Kepada walikota, mereka menyampaikan bahwa umat Islam meminta walikota untuk mengizinkan dan membuka Masjid untuk Tarawih dan salat Jumat. Umat Islam juga meminta walikota mengizinkan pelaksanaan salat Raya di masjid atau di lapangan.

Umat meminta rasa adil, "mal dibuka, kok masjid ditutup?". Kalau masjid ditutup maka mal juga harus ditutup. Sakit hati umat melihat ketimpangan ini.

Menjawab hal ini, walikota menjelaskan banyak hal. Ia menceritakan tentang PSBB yang bisa berdampak kepada ekonomi, politik dan ketahanan negara. Bukan hanya kematian akibat Covid-19 yang harus dikendalikan, kematian akibat kelaparan, pengangguran dan kerusuhan juga harus diantisipasi.

Ia mengakui bahwa negara tidak cukup dana untuk membiayai hidup masyarakat kalau dilakukan "lockdown" total. Jangankan itu, untuk PSBB pun negara kelimpungan untuk membiayainya.

Ada yang menarik dari penjelasan walikota tentang masjid "ditutup" sedangkan "mal" terbuka.

Ia menjelaskan bahwa masjid di Pekanbaru berjumlah 1.380, sedangkan mal hanya berjumlah 6. Kalau satu masjid jemaah salat Jumat berjumlah 300 orang saja, maka itu berarti 1.380 X 300 = 414.000 orang. Setengah juta orang berkumpul dalam masjid se-Kota Pekanbaru, dalam waktu bersamaan dan tak mungkin dikendalikan physical distancingnya.

Karena faktanya selama ini, jemaah salat Jumat selalu memenuhi masjid bahkan ada yang meluber sampai teras dan halaman masjid. Mana mungkin pengurus masjid mampu mencegah orang untuk tetap masuk kalau masjid belum penuh. Sementara salat fardhu lima waktu tidaklah terlalu membuat walikota risau sebab jemaahnya kadang tidak terlalu ramai. Physical distancingnya masih bisa dkendalikan.

Meskipun begitu walikota tetap menghimbau salat berjemaahlah di rumah. Orang Tanpa Gejala (OTG) banyak di Pekanbaru. Sebagai contoh walikota melakukan rapid test di kelurahan Delima dan Sialang Munggu. Dari 75 orang yang dilakukan tes, 10 orang "reaktif", yang harus dilakukan pengambilan swab untuk memastikan positif atau negatif Covid-19. Artinya lebih dari 10% diduga positif Covid-19, meskipun mereka tidak memiliki gejala demam tinggi, pilek dan batuk.

Lalu walikota menjelaskan tentang mal. Ada yang menarik dari penjelasan walikota dalam hal ini. Pengelola mal malah ingin menutup sendiri karena biaya operasional yang besar tidak memadai dengan hasil. Walikota justru melarang menutup total sebab mempertimbangkan karyawan yang dapat saja diberhentikan oleh pengelola dengan alasan tutup usaha. Ini tentu memberi dampak yang besar bagi pekerja.

Walikota meminta mereka untuk tetap buka sampai sore saja hingga pukul 18.00 WIB dengan menjalankan protokol Covid19. Pekanbaru hanya memiliki 6 mal dengan ribuan karyawan. Luas mal diperkirakan dapat menjaga physical distancing dan dapat pula menjalankan protokol Covid-19. Lalu pembeli tidak datang dalam waktu yang sama dan tempat yang sama. Mobilitas terjadi di dalam mal. Pendeknya, walikota melihat physical distancing dapat dijalankan.

Akhirnya, walikota meminta pengertian ulama dan ummat Islam dalam masalah ini. Ia minta dukungan dan kedisiplinan.

Percayalah, kalau Pekanbaru sudah dapat mengendalikan penularan Covid-19 ini, maka semua "pembatasan" akan segera dibuka. Semuanya terpulang kepada ulama dan ummat Islam. Apakah mau bertaruh nyawa atau mengikuti aturan dan arahan pemerintah. Ia paham beratnya kondisi ekonomi masyarakat, tetapi apa daya, itu harus dilakukan.

Catatan ditulis langsung oleh Prof DR H Akbarizan MA MPd (Ketua Bidang Fatwa MUI Pekanbaru)