PEKANBARU - Pada tahun 2014, jumlah hotspots di Riau melampaui 100.000, sehingga Presiden Jokowi yang waktu itu baru saja memasuki masa pemerintahannya yang pertama memutuskan untuk meninjau langsung ke lapangan. Kunjungan presiden disebut-sebut memberikan dampak penting, karena jumlah hotspots di provinsi ini, kemudian susut drastis pada tahun 2016, 2017, dan 2018.
Oleh karenanya masyarakat menyangka permasalahan karhutla, khususnya pada lahan gambut, sudah berakhir. Tetapi, pada tahun 2019 ini, secara mengejutkan ternyata bencana kabut-asap atau jerebu kembali mencekam masyarakat Riau dan juga sejumlah provinsi lain di Sumatera maupun Kalimantan. Gagalkah pemberantasan karhutla?
Pertanyaan tersebut mengemuka dalam diskusi ilmiah bertajuk “Komunikasi Ekologi: Kasus Kebakaran Lahan Gambut di Provinsi Riau dan Kalimantan Barat” yang ditaja oleh Pusat Studi Bencana (PSB) LPPM Universitas Riau pada hari Senin, (30/9/2019).
Narasumber diskusi, yaitu Dr. Arifudin, salah satu peneliti PSB yang juga dosen di Fakultas Pertanian Universitas Riau ini, mencoba mengungkapkan bahwa salah satu faktor penting yang menjadi kendala pemberantasan karhutla adalah persoalan komunikasi.
Membuka paparannya dengan menjelaskan bahwa pemerintah maupun masyarakat merupakan sebuah sistem sosial yang di dalamnya terdapat berbagai subsistem. Kesepakatan antar berbagai subsistem ini tercapai apabila interpretasi teradap suatu isu, sebagai contoh bagaimana karhutla harus dicegah, tidak terlalu beragaman dan bertentangan satu sama lain. Demikian pula sebaliknya, semakin berbeda dan bertentangan interpretasi antar subsistem ini maka semakin sulit dicapai kesepakatan.
Menyandarkan analisisnya pada teori komunikasi ekologi yang digagas Sosiolog Jerman, Niklas Luhmann, Arif membedah persoalan komunikasi dari wacana-wacana yang mengemuka dalam media massa cetak utama yang ada di Riau dan Kalimantan Barat. Terdapat sembilan kategori wacana yang disorotinya, yaitu ekonomi, politik, hukum, sains, pendidikan, agama, seni, kesehatan masyarakat, dan kesukarelawanan, yang mencerminkan subsistem di dalam sistem sosial masyarakat.
“Sejauh ini, wacana yang paling menonjol dalam persoalan pemberantasan karhutla di kedua provinsi adalah wacana ekonomi dan politik ” jelas Arif. Hal ini berarti, baik subsistem-subsistem yang ada dalam pemerintah maupun masyarakat sebenarnya memiliki interpretasi yang cukup serujuk bahwa akar permasalahan karhutla berpusar pada persoalan ekonomi dan politik.
“Meskipun demikian,” lanjut Arif, “keserujukan interpretasi tentang akar permasalahan tersebut tidak serta-merta berarti terdapat juga keserujukan interpretasi tentang jalan keluar atau solusinya.” Ia mencontohkan, pemerintah telah mengikuti nasehat para pakar menetapkan kedalaman muka air di bawah gambut yang harus selalu dipertahankan, yaitu 40 cm, pada pasal 23 ayat 3 PP Nomor 71 Tahun 2014 junto pasal 1 ayat 10 poin (3) a PP 57 Tahun 2016 . Maksud pemerintah adalah untuk mempertahankan agar gambut tetap basah atau setidaknya lembab. Tetapi, bagi kalangan bisnis perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) solusi ini dianggap sama saja dengan mematikan bisnis mereka. Merujuk pada kebutuhan tanaman yang dibudidayakan, yaitu kelapa sawit dan akasia, mereka meminta pemerintah agar memberikan “keringanan” dengan membolehkan air gambut disusutkan hingga, 65 Cm bagi Sawit , dan 75 cm bagi HTI.
Arif menandaskan bahwa ketidakserujukan seperti tersebut di atas sering tidak lagi didasari oleh basis pemahaman tentang bagaimana seharusnya air dalam lahan gambut dikelola sebagaimana yang dibangun oleh sains, melainkan oleh lebih kuatnya kepentingan ekonomi dari satu pihak.
Menutup paparannya, Arif menyimpulkan bahwa komunikasi yang sementara ini telah terjalin antar subsistem, sebagaimana ditandai dengan terjadinya inter-penetrasi ke berbagai subsistem yang ada, ternyata belum berbuah perubahan perilaku dari pihak-pihak yang sering dicurigai sebagai pemicu terjadinya karhutla. Hal ini membuktikan efek yang diharapkan dari komunikasi belum tercapai, yang artinya metode atau strategi komunikasinya masih perlu dibenahi.
Tetapi, meskipun mempromosikan bahwa komunikasi menjadi salah satu kunci penting dalam pemberantasan karhutla, narasumber ini mengakui bahwa sebagus apapun komunikasi tetap ada potensi penolakan (resistance) dan pembangkangan (disobedience) dari penerima pesan yang disampaikan. Oleh karenanya pada akhirnya tetap dibutuhkan ketegasan politik yang diimplementasikan dalam bentuk ketegasan hukum dari pemerintah selaku pihak regulator.*