PEKANBARU - Kisah klasik Bangsawan Melayu masa lampau tak lepas dari dendam, benci, amarah, perang dan cinta-cinta tak berbalas. Terkesan emosional. Bahkan cucuran keringat, air mata dan darah senantiasa melumuri singgasana raja-raja.
Bacalah Hikayat Hang Tuah, Megat Seri Rama, Sultan Mahmud Malaka, Johor, Riau-Lingga, Lancang Kuning dan sederetan kisah lainnya. Tak terkecuali kisah yang terukir dari seorang agung ternama Raja Kecil yang kalah dan berundur dari Johor ke Siak Sri Indrapura.
Kisah-kisah itu berkaitkelindan satu sama lain. Berbelit-belit, rumit dan sentiasa menerbitkan rasa penasaran bagi pekerja kreatif untuk menggali, menelaah dan menafsirnya seiring perjalanan waktu yang tak henti bergulir.
Ragam tafsir kisah-kisah klasik pun tertuang dalam kreasi karya seni seperti sastra, teater, tari, film, senirupa dan musik. Sederetan nama seniman yang menuang kisah klasik dalam bentuk karya sastra kontemporer antaralain; Tennas Effendi, Hasan Junus, Rida K Liamsi, Taufik Ikram Jamil, Dasri al Mubari dan SPN GP Ade Dharmawi dengan kumpulan naskah dramanya, "Peterakna". Nama-nama yang kekinian semisal Hang Kafrawi, Marhalim Zaini, Fedli Azis, M Paradison, Rina NE dan lainnya.
Ada kisah Tengku Buntat dan Raja Djaffar (Bulang Cahaya-Rida K Liamsi), Panglima Hasan dan Zubaidah (Lancang Kuning-Tennas Effendi, Dasri al Mubari dan Rina NE) dan lainnya. Semua kisah klasik berbalut cinta yang mengambang itu, juga tertuang dalam kisah buah tangan almarhum GP Ade Dharmawi yang diangkat sutradara muda Muhammad Reza Akmal dengan judul, "Tengku Mahkota Seri Buantan" berlatar cerita Kemaharajaan Siak Sri Indrapura.
Pementasan Drama Klasik Bangsawan, Produksi Rumah Budaya (RB) Tengku Mahkota berjudul, "Tengku Mahkota Seri Buantan" yang diubahsuai M Reza Akmal itu berlangsung, 25-26 November 2022 di Anjung Seni Idrus Tintin. Pola pemanggungan istanasentris tentu saja terdedah di depan mata ratusan audiens yang memadati gedung megah itu sepanjang dua malam berturut-turut.
Singgasana sultan dan ragam aksesorisnya cukup memanjakan mata penonton. Selain itu, kostum dan make up para pelakon juga turut menawarkan kesan "wah" ala bangsawan masa lalu. Tak tertinggal bebunyian alias musik yang digarap khusus dengan nyanyian ciptaan sendiri. Juga musik ilustrasi oleh para komposer dan musisi. Palingtidak itulah yang hendak dihajatkan pengkarya hingga audiens merasa pantas membeli tiket.
Visualkan Sosok Imajiner
Dalam teks "Tengku Mahkota Seri Buantan" tergambar pula kisah cinta yang mengambang antara Raja Kecil (Sultan Abdul Jalil Ahmad Syah – Pendiri Kerajaan Buantan; cikal bakal Kerajaan Siak Sri Indrapura Dar al-Salam al-Qiyam) dengan dua istrinya, Tengku Mahbungsu dan Encik Kecil Putri Dipati.
Kedua tokoh perempuan itu, tidak wujud secara fisik ke panggung dalam teks asli SPN GP Ade Dharmawi. Sedang dalam teks baru yang digarap Reza Akmal, keduanya divisualkan untuk menguatkan keinginannya. Sang Sutradara sengaja menghadirkan kisah cinta Raja Kecik alias Sultan Abdul Jalil Ahmad Syah dengan kedua istrinya itu. Baginya kisah percintaan selalu diminati dan dinanti-nanti penonton.
"Ya, setidaknya kisah asmara, apapun endingnya, selalu diminati orang. Itulah alasan kenapa saya menghadirkan dua perempuan hebat tersebut," ungkap Reza Akmal usai pertunjukan, Sabtu (26/11/2022) lalu.
Encik Kecil Putri Dipati adalah istri pertama yang setia mendampingi sejak Raja Kecik belum jadi apa-apa. Meski bukan gahara seperti Tengku Mahbungsu (Permaisuri Raja Kecik dan Bunda Tengku Buang Asamara), Putri Dipati terus mendamping suaminya, bahkan saat berperang dengan musuh.
Cuplikan persaingan itu tertuang dalam salahsatu dialog Tengku Mahbungsu;
"Kanda, bukan semuanya untuk dinda.
Hak yang sama juga ada pada kakanda Encik Kecil Putri Dipati. Secara lahiriah: poligami memang mudah tapi secara bathiniyah pasti ada yang terluka. Sepandai-pandai menutupi luka, namun perihnya tetap terasa. Kanda, dinda telah menyakiti hati dua wanita: Pertama, Tengku Tengah kakanda dinda sendiri, ketika kanda berencana meminangnya tetapi membatalkan kemudian memilih dinda.
Kedua, kakanda Putri Dipati, terpaksa dimadu tanpa pernah kanda meminta persetujuannya menikahi dinda...
Kebahagiaan apa namanya yang dinda peroleh jika orang yang dekat dengan dinda dan kanda menderita..."
Pergulatan cinta yang rumit dan berbelit menjadi sumber sengketa yang tak kunjung selesai. Bahkan dalam beberapa kisah lain, bercerainya cinta kasih mengakibatkan perang dan berpisahnya negeri (kerajaan) menjadi dua, bahkan lebih.
Mengulur Esensi untuk Menghibur Audiens
Dalam Tengku Mahkota Seri Buantan, si sutradara tidak hanya menyelipkan unsur komedi, layaknya Drama Klasik Bangsawan umumnya. Jika tokoh Kadam/ Bujang Selamat dan Inang hanya sepasang, dalam lakon ini Reza justru menghadirkan peran Bujang Selamat dan Inang menjadi dua pasang.
Bukan tanpa maksud. Menghadirkan dua pasang tokoh Bujang Selamat dan Inang untuk lebih mencairkan suasana. Sehingga kelucuan-kelucuan dan kepolosan orang Melayu semakin terasa. Selain itu, kedua pasangnya diharapkan mampu membuat penonton terhibur dan tertawa riang melihat aksi dan polahtingkah mereka.
Apalagi, pemeranan yang cendrung berimprovisasi itu, kadang melontarkan celetukan-celetukan yang populer saat ini. Tak dapat dibendung lagi, penonton tidak hanya tersenyum, bahkan "ngakak" karena merasa geli hati. Meski tak banyak hal yang bisa dikembangkan para aktor karena belum memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas tentang hal penting atau remeh-temeh yang terjadi di Indonesia atau Riau hari ini.
Adegan demi adegan yang diharapkan sebagai hiburan kerapkali lepas kontrol sehingga durasinya menjadi sangat panjang. Bahkan mengulang-ngulangnya agar penonton tambah betah dan terpatri di tempat duduknya. Pertanyaannya, apakah hal itu berhasil? Biarlah penonton dan pengamat yang menilainya.
"Ya, saya memang sengaja melakukannya agar penonton suka dan terhibur setelah lelah menjalani rutinitasnya. Apakah hal itu berhasil atau tidak? Saya justru memulangkannya kepada penonton dan pengamat," uja Reza Akmal.
Saat ditanya, mengapa adegan tragedi cendrung terkesan melankolis dan cengeng? Bagi ayah anak satu itu (Reza), karena dalam teks ia menemukan kata/ kalimat "hilang akal" karena beratnya persoalan yang ditanggung Raja Kecik, kedua istrinya dan anak-anaknya.
"Nah, pada bagian ini saya perlu belajar lebih banyak lagi. Menafsir kembali bagaimana seharusnya para aktor memainkan karakternya. Saya harap, setelah pementasan ini selesai, para aktor tidak menganggapnya selesai. Saya akan mengajak mereka kembali masuk ke bengkel penciptaan untuk menyempurnakan karya baru ini," ulasnya.
Layaknya sebuah karya, buah tangan Reza Akmal ini tentu belumlah sempurna. Meski sudah cukup layak dilepastontonkan kehadapan publik. Buktinya, secara kuantitas jumlah tiket yang terjual hampir mencapai 1000 helai. Palingtidak, Reza dan kawan-kawan telah berupaya maksimal dan hasilnya, ia pulangkan kepada audiens.
"Tak ada yang sempurna namun usaha yang kami lakukan mendapat apresiasi dari seluruh penonton yang hadir. Percayalah kami akan terus menyempurnakan karya ini dan terus berproses agar capaian-capaian artistik mengalami perkembangan yang berarti.*