Info Wisata

Museum Ini Punya Koleksi Mayat dari Seluruh Dunia, Kini Dikembalikan

Pitt Rivers.(sumber;internet)

LONDON - Inggris menyimpan harta karun rampasan era kolonial di berbagai museum di seluruh penjuru negara mereka. Namun seiring perubahan zaman, bagaimana cara museum itu mengelola koleksi sensitif berupa jenazah manusia yang diawetkan?

Museum Pitt Rivers di Oxford didirikan dan menyimpan koleksi jenderal Inggris era Victoria, Augustus Pitt Rivers. Museum ini menyimpan setidaknya dua ribu sampel mayat manusia.

Seluruh potongan tubuh itu dibawa ke Inggris dari berbagai koloni, tanpa memperhatikan dampak terhadap masyarakat di lokasi penjarahan.

Pitt Rivers adalah satu dari beberapa institusi Inggris yang kini berada di bawah tekanan untuk mengevaluasi koleksi era kolonial.

"Kami tidak bisa mengulang sejarah, tapi kami dapat mengambil bagian dalam proses pemulihan," kata Laura van Broekhoven, orang nomor satu di Pitt Rivers.

Van Broekhoven menyebut proses pemulihan itu akan dilakukan melalui pembicaraan terbuka dengan mereka yang terdampak penjarahan.

Sejak pengesahan Human Tissues Act tahun 2004—beleid yang melonggarkan aturan pemindahan potongan jenazah—Pitt Rivers telah mengembalikan 22 bagian tubuh ke negara asalnya.

Ini adalah gelombang pengembalian jenazah ke bekas negara jajahan, tapi ini barulah permulaan.

Pitt Rivers tengah menegoisasikan pengembalian jenazah seorang aborigin ke Australia. Sebelumnya, pada Mei 2017, mayat orang Maori diserahkan ke MuseumTe Papa Tongarewa.

Dalam sejumlah peristiwa, tubuh orang-orang suku asli ini dibawa ke Inggris oleh para penjelajah yang memiliki koneksi dengan Universitas Oxford.

"Kami punya banyak hubungan keluarga antara universitas dan masyarakat New Zealand, dimulai saat kontak pertama suku Maori dan penjelajah Inggris," kata van Broekhoven.

"Ketika kapal pertama Inggris melepas sauh, orang-orang dari Oxford ada di geladak kapal itu—para penyelidik alam kaya raya membayar tiket untuk berada di kapal yang dikemudikan James Cook."

"Dan mereka membawa barang-barang rampasan itu saat pulang ke Inggris," ujar van Broekhoven.

Kepala Museum Pitt Rivers itu berkata, komunitas Maori menunjukkan kegigihan dan dedikasi untuk mendapatkan kembali jenazah pendahulu mereka.

Te Herekiekie Herewini yang bekerja di Te Papa dianggap sebagai Indiana Jones dari Selandia Baru yang menggiatkan pemulangan mayat kakek dan nenek moyang bangsanya.

Misi yang dijalankan Herewini adalah mengembalikan jenazah ke tanah air spiritual asal. Dalam arti lain, ia ingin memastikan para pendahulu Maori dihibur dan berada di sekeliling orang yang menyayangi mereka.

"Maori dan jenazah tetua Moriori diambil tanpa izin keluarga mereka," kata Herewini.

"Jadi proses pengembalian ini memungkinkan rekonsiliasi kekeliruan masa lalu dan kelakuan buruk yang diasosiasikan dengan kedatangan bangsa Eropa ke pasifik selatan."

Museum Te Papa Tongarewa telah menerima pengambalian sekitar 500 mayat dari berbagai institusi sejak 2003. Adapun, pengembalian dari Oxford mencakup tujuh Toi moko, yaitu mumi Maori yang memiliki tato di kepala.

Mei 2017, kepulangan tujuh mumi itu disambut secara resmi oleh perwakilan suku asli dan pejabat pemerintah Selandia Baru.

Ketujuh mumi itu ditempatkan di penyimpanan keramat bernama Wahi Tapu.

 

Tempat penyimpanan itu hanya dapat dikunjungi perwakilan suku yang memiliki hubungan genetis dengan mumi Maori.

Kini penanganan jenazah yang diterapkan Pitt Rivers ditiru banyak museum lainnya. British Museum yang mengoleksi lebih dari enam ribu mayat telah mengembalikan 18 di antaranya ke Tasmania dan Selandia Baru, terhitung sejak 2004.

Koleksi mayat manusia di Pitt Rivers
 

Ashley Jones, guru besar sejarah militer dan imperialisme di King`s College, London yakin jika situasi ini dibalik, akan muncul perasaan gempar di Inggris.

"Jika sebuah museum di Beijing atau Harare mengoleksi jenazah atau simbol penting pemakaman raja atau uskup agung, akan ada gerakan besar untuk mengambilnya kembali," kata Jones.

Keadaan sulit ini, menurut Jones, bermula dari perilaku kolonial yang sangat berbeda dengan kebajikan kontemporer.

"Banyak orang sangat bangga memiliki sesuatu dari seluruh penjuru dunia. Ini representasi yang dilihat publik bahwa peradaban yang lebih tinggi, menjelajah, menuntut bagian, menyimpan, dan membawa barang-barang itu ke Inggris."

Salah satu barang pameran populer di Pitt Rivers adalah `potongan kepala` atau tsantas .

Ada 10 tsantas yang dibawa dari kawasan utara Amazon oleh penjelajah Inggris pada akhir abad ke-19. Kini potongan kepala itu disimpan dalam kotak bertuliskan `Perlakuan untuk Musuh yang mati`.

Tsantsa dibuat dengan mengelupaskan kulit, merebus, dan mengeringkan kepala manusia. Mata dan mulut ditutup dengan benang jahit.

Wajah kepala itu dihitamkan dengan pewarna sebelum digantung menggunakan seutas tali.

Kepala ini semacam trofi yang diciptakan orang-orang suku asli yang memenggal musuh mereka sebagai bukti keberanian dan balasan terhadap kematian sanak famili.

Kami tidak dapat menampilkan foto kepala-kepala ini karena museum menganggapnya sebagai meterial sensitif—bagi keturunan mereka, tsantas adalah hal yang dianggap keramat.

Namun van Broekhoven menilai hal itu tidak berarti Museum Pitt Rivers tidak dapat menampilkan potongan kepala tersebut.

Van Broekhoven mengklaim telah berbicara kepada keturunan orang-orang suku Amazon, yang disebutnya tak bekeberatan dengan apapun terkait kepala-kepala itu.

"Mereka sebenarnya sangat senang melihat koleksi itu ditampilkan. Mereka melihatnya sebagai representasi budaya mereka dan bahwa duta besar kebudayaan mereka ada di museum ini."

"Jadi saya tidak melihat pembukaan dan pengosongan ruangan ini sebagai satu-satunya tujuan dari proses ini," kata Van Broekhoven.

Hubungan dengan komunitas suku lain terjadi November lalu ketika perwakilan Maasai dari Tanzani dan Kenya mengunjungi museum itu.

Mereka bekerja sama dengan kurator untuk memastikan koleksi-koleksi itu dilabeli dengan benar dan mewakili kultur Maasai secara berimbang.

Van Broekhoven yakin berbicara dengan pihak-pihak terkait sangatlah penting. "Saya tidak melihat begaimana kami dapat beranjak ke arah yang berlawanan, terutama karena Oxford adalah kota global," ujarnya.

Di balik kerumitan masa lalu, van Broekhoven berkeras museumnya masih dapat membahas nilai kemanusiaan yang mereka yakini.

"Ada banyak cara untuk mencari tahu dan eksis. Ada banyak yang dapat kita pelajari dan pahami satu sama lain," tuturnya.*



Loading...


[Ikuti IDNJurnal.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar

Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0813-6567-1385
atau email ke alamat : [email protected] / [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan IDNJurnal.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan
Loading...