Life

7 Pertanyaan untuk Deteksi Autisme pada Anak

Ilustrasi.(sumber;internet)

JAKARTA - "Autisme itu tidak menular, itu bukan penyakit."

Itulah kalimat yang berkali-kali dilontarkan oleh Gayatri Pamoedji, Ketua Masyarakat Peduli Autisme (MPATI). Menurutnya, banyak anggapan keliru yang membuat orang tua tidak memberikan perlakuan tepat kepada anak dengan autisme.

"Bahkan orang tua yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, masih percaya adanya kaitan antara autisme dengan santet atau ilmu hitam lainnya," papar Gayatri. Oleh karena itu, Gayatri mengajak orang tua untuk lebih memahami autisme.

Autisme berhubungan dengan faktor genetik dan lingkungan. Genetik artinya autisme bisa diturunkan dari anggota keluarga dengan riwayat serupa. Sedangkan lingkungan, autisme bisa timbul karena pengaruh makanan, polutan, atau toksik yang masuk tubuh.

Meski faktor genetik berperan, tetapi orang tua bisa melakukan deteksi sederhana sejak dini. Semakin dini terdeteksi, maka semakin dini pula intervensi dilakukan.

Jawab 7 pertanyaan
Autisme dapat dideteksi sejak dini, bahkan sejak bayi, secara sederhana di rumah.

"Skrining awal itu justru sebaiknya dilakukan orang-orang terdekat anak, ya orang tua, guru, keluarga, suster. Makin dini deteksi, makin bagus. Lima tahun pertama kehidupan anak itu waktu terbaik untuk intervensi," kata Gayatri saat konferensi pers di Jakarta Convention Center, Jakarta Pusat, Jumat (23/8).

Gayatri mengatakan orang tua bisa mendeteksi autisme pada anak dengan menjawab tujuh pertanyaan sederhana.

1. Apakah anak Anda memiliki ketertarikan pada anak-anak lain?

2. Apakah anak Anda menunjuk pada hal yang disukai?

3. Apakah anak Anda mau menatap mata Anda selama lebih dari 1-2 detik?

4. Apakah anak Anda mau meniru ucapan, ekspresi wajah maupun gerak-gerik Anda?

5. Apakah anak Anda bereaksi ketika namanya dipanggil?

6. Apakah anak Anda mau melihat ke arah benda yang Anda tunjuk?

7. Apakah anak Anda pernah bermain pura-pura/role play?

Jika minimal ada dua pertanyaan dengan jawaban 'tidak', maka ini sudah jadi modal kuat untuk membawa anak ke klinik tumbuh kembang atau rumah sakit yang bisa menangani anak dengan autisme.

"Tanda-tanda bisa dideteksi secara insting ibu. Saya punya anak dengan autisme, di usia 9 bulan saya heran kenapa dia enggak ada kontak mata, dipanggil enggak dengar. Kalau punya bayi kan disusuin, pandangan mata ke arah ibu. Ini tidak," katanya.

Terapi tepat
Pengecekan lanjutan akan dilakukan tenaga profesional. Baru kemudian ditentukan intervensi yang tepat. Umumnya ada tiga jenis terapi yang akan diberikan pada anak dengan autisme yakni, terapi perilaku, terapi wicara dan terapi okupasi.

Terapi perilaku ditujukan agar anak bisa duduk tenang, fokus, ada kontak mata sehingga anak bisa bersekolah, belajar seperti anak lain saat dia sudah masuk usia sekolah. Terapi wicara diperlukan agar anak bisa mengkomunikasikan apa yang diinginkannya. Biasanya terapi dilakukan dengan menyebutkan 10 benda yang sering ditemui atau ada di sekitarnya. Sedangkan terapi okupasi lebih ke fisik atau olahraga agar ada koordinasi baik pada motorik halus maupun kasar.

"Orang tua juga wajib terus belajar atau menstimulasi anak karena 80 persen anak autis bisa sukses karena orang tuanya, bukan karena ahli," ujar Gayatri.

Penanganan atau diagnosis terlambat akan mengakibatkan anak sulit berkomunikasi, anak terus berada di dunianya sendiri, dan berperilaku ganjil atau mengulang satu aktivitas berkali-kali dalam waktu lama.*



Loading...


[Ikuti IDNJurnal.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar

Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0813-6567-1385
atau email ke alamat : [email protected] / [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan IDNJurnal.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan
Loading...