Ekonomi

Persiapkan Kantong, Tarif Listrik Dipredisi Naik 25 Persen di 2020

ilustrasi (sumber:internet)

JAKARTA - Komitmen penggunaan batu bara sebagai sumber energi primer listrik untuk jangka panjang menimbukan risiko baru. Lembaga internasional The Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyimpulkan bahwa PT PLN (Persero) kemungkinan akan mengerek tarif listrik sekitar 10 hingga 25 persen pada 2020. Hal itu dilakukan untuk menjaga kinerja keuangan perseroan.

Dalam kajian "PLN's Coal IPP Funding Gap Suggests Tariffs Must Rise in 2020" yang dirilis Senin (14/5/2018), waktu Amerika Serikat (AS), IEFFA memperkirakan beban biaya operasi PLN bisa meningkat dari Rp275,47 triliun menjadi Rp447,77 triliun pada 2021. Kenaikan terbesar berasal dari biaya pembelian listrik dari Rp72,42 triliun menjadi Rp119,17 triliun, yang berasal dari kapasitas pembangkit baru.

Untuk menutup kenaikan beban, kajian tersebut menilai pemerintah juga perlu mengerek subsidi listrik hingga 2021. IEEFA memperkirakan subsidi listrik pada 2021 bisa membengkak dari Rp50,6 triliun pada tahun lalu menjadi Rp133,7 triliun. Jumlah tersebut dinilai sulit terpenuhi jika hanya mengandalkan APBN. IEEFA menilai kenaikan tarif akan dilakukan demi menjaga kondisi keuangan perusahaan seiring upaya perusahaan untuk mendapatkan pendanaan dari penerbitan obligasi global.

"Di masa lalu, PLN dapat menghindari sorotan terhadap kinerja keuangannya karena sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PLN tidak menjadi subyek pengawasan ketat yang umum dilakukan terhadap perusahaan listrik yang terdaftar di bursa efek," ujar Konsultan Energgi IEEFA sekaligus penulis kajian Melissa Brown, seperti dikutip dari keterangan resmi, Selasa (15/5).

Menurut Brown, kebutuhan untuk mengerek tarif listrik merupakan masalah yang tidak bisa diacuhkan oleh investor, khususnya mengingat ada perkiraan kenaikan biaya operasi dalam empat tahun ke depan.

"Namun, (kenaikan tarif) ini merupakan topik yang dihindari oleh pemerintah dan PLN untuk dibicarakan sekarang mengingat tahun ini ada pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden pada 2019," ujarnya.

Secara implisit, memo tersebut juga mempertanyakan komitmen Indonesia untuk mengurangi penggunaan batu bara mengingat pasar tenaga listrik global mulai beralih ke produsen listrik yang lebih bersih dan dengan biaya yang lebih murah.

Terlebih, pasar pendanaan global juga mulai berkurang bagi sektor-sektor yang sarat penggunaan batu bara yang rentan terhadap isu perubahan iklim.

Sementara, batu bara masih menjadi sumber energi primer listrik di Indonesia karena biayanya yang relatif untuk melistriki masyarakat yang belum mendapatkan akses listrik.

Brown menilai salah satu kelemahan PLN adalah perusahaan memberikan jaminan untuk membeli tenaga listrik dari pengembang listrik swasta (Independent Power Producers/IPP) yang relatif mahal.

"Tantangan pendanaan terbesar bagi PLN untuk empat tahun ke depan adalah menemukan cara untuk membayar kenaikan beban biaya dari kapasitas IPP baru dan ekspansi grid yang terkait diperlukan untuk menjamin kapasitas listrik baru tersebut dapat dihantarkan," ujar Brown.

Sebelumnya, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar mengungkapkan batu bara tetap akan menjadi sumber energi utama hingga 2050 meskipun porsinya akan dikurangi secara bertahap.

Dalam peta jalan Kebijakan Energi Nasional (KEN) disebutkan pemanfaatan batu bara dalam bauran energgi nasional ditargetkan sekitar 30 persen pada 2025, dan menjadi hanya 25 persen pada 2050.

Adapun terkait tarif listrik, Pemerintah dan PLN telah menyatakan tidak akan ada kenaikan hingga 2019.*



Loading...


[Ikuti IDNJurnal.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar

Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0813-6567-1385
atau email ke alamat : [email protected] / [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan IDNJurnal.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan
Loading...