News

KPU Kaji Ulang Larangan Pezina Ikut Pilkada

sumber;internet

JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengkaji ulang rencana pelarangan pelaku perbuatan tercela, termasuk zina, untuk maju di Pilkada Serentak 2020. Hal ini merespons perwakilan partai politik yang menolak rencana tersebut.

Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengatakan pengkajian ulang dilakukan setelah kritik yang dilontarkan kepada KPU diuji publik.

"Kan mendapat respons dari banyak pihak terkait dengan parameter dan petunjuk teknisnya. Jangan sampai kemudian regulasi itu penerapannya sulit dan multitafsir," kata Wahyu saat ditemui di Kantor Bawaslu, Jakarta.

Wahyu mengatakan sebenarnya dasar hukum KPU menerapkan larangan tersebut cukup kuat. Sebab UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada juga sudah mengatur hal serupa.

Namun ia mengakui memang ada sejumlah masalah yang berpotensi muncul jika KPU tetap memaksakan penerapan larangan itu tanpa petunjuk teknis yang rinci.

"Misalnya ada orang yang mengatakan, 'Dia (calon kepala daerah) pernah mabuk,' 'Dia pernah zina.' Apakah itu, ataukah sebenarnya harus ada lembaga yang berwenang menetapkan itu?" tutur Wahyu.

KPU akan mengkaji apakah perbuatan tercela yang dilarang merujuk pada pidana atau tidak. Sebab larangan ini berpotensi menimbulkan konflik di masa pemilihan.

"Kita tentu saja merumuskan, memformulasikan dalam tataran yang sangat teknis yang itu tidak multitafsir. Bisa di dalam PKPU atau dengan juknis," Wahyu menyampaikan.

Sebelumnya, KPU merilis draf revisi Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017. Setelah direvisi, rencananya aturan itu akan dipakai sebagai landasan hukum teknis untuk Pilkada Serentak 2020.

Hal yang menjadi sorotan dalam draf tersebut adalah larangan mencalonkan diri bagi orang yang pernah melakukan perbuatan tercela. Dalam Pasal 4 poin j angka 1 hingga 5 perbuatan tercela dirincikan sebagai judi, mabuk, pemakai atau pengedar narkoba, zina, dan perbuatan kesusilaan lainnya.

Dalam uji publik yang dilakukan di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (2/10/2019), para perwakilan partai menolak karena pasal itu berpotensi digunakan untuk menjatuhkan lawan politik.

Penolakan juga datang dari Bawaslu. Anggota Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan pihaknya menolak aturan tersebut selama tak ada rincian yang jelas.

"Kalau ada yang tobat bagaimana? Misalnya ada yang enggak mau mabuk lagi, enggak mau zina lagi, itu bagaimana? Wong mantan narapidana saja bisa nyalon. Saya bilang ke teman-teman KPU, tolong buat parameter yang jelas," ujar di Kantor Indonesian Legal Roundtable, Jakarta, Senin (7/10/2019).*



Loading...


[Ikuti IDNJurnal.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar

Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0813-6567-1385
atau email ke alamat : [email protected] / [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan IDNJurnal.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan
Loading...