Ada Apa di Museum Sang Nila Utama?

Maroguok, Burqa ala Perempuan Kampar

PEKANBARU - Museum Sang Nila Utama Dinas Kebudayaan Riau tentu saja mengoleksi berbagai benda-benda peninggalan sejarah, bahkan pra-sejarah. Setidaknya, ada 4000-an lebih koleksi yang tersimpan dengan baik di bangunan dua lantai itu. Benda-benda bersejarah tersebut menjadi bukti, bahwa Riau memiliki sejarah  panjang dengan kekayaan budaya yang tak ternilai harganya. 

Meski jumlah koleksi yang sudah terhimpun tersebut masih terbilang sedikit, namun sudah cukup untuk mengetahui karakteristik masyarakat di mana benda-benda itu ditemukan. Aktivitas budaya yang berkembang dimasanya menghasilkan benda-benda atau alat-alat sebagai jawaban atas tantangan zaman. Salah satu koleksi Museum Sang Nila Utama adalah Maroguok asal Kampar. Maroguok ini bisa disebut juga Burqa ala Perempuan Kampar pada masanya. 

Setiap generasi, selalu saja memiliki kemampuan untuk menemukan jawaban atas tantangan zaman. Misal, perempuan di Kabupaten Kampar pada masa lalu kerap menggunakan "Maroguok" saat bekerja di ladang. Maroguok itu hampir sama bentuknya seperti "burqa" yang digunakan perempuan Arab untuk menutup aurat (wajah). 

Maroguok sendiri berasal dari kata "berguk" atau "burqa". Benda itu berbuat dari kain (kerap berwarna putih) berbentuk persegi empat memanjang yang berfungsi penutup wajah dari sengatan matahari saat bekerja di ladang. Kain penutup wajah itu dilubungi pada bagian kedua mata. Artinya, saat memakai maroguok, para ibu-ibu terlihat bak perempuan Arab yang selalu bercadar saat bepergian, keluar dari rumahnya. 

Apalagi, perempuan-perempuan Kampar masa lampau memang sudah terbiasa menggunakan jilbab, salah satu perintah dari Allah sebagai ketaatan seorang muslimah kepada Tuhan, Nabi, dan Agamanya. 

"Maroguok sendiri, terpisah dari kerudung atau jilbab. Maka tidak salah jika kita sebut kain itu dengan burqa sebab berdiri sendiri tanpa mengurangi makna dan fungsi kerudung," ujar Kadisbud Riau Yoserizal Zen. 

Menurut penuturan orang tempatan, sebagai salah satu versi, Maroguok dibuat
pada masa penjajahan Belanda. Penutup wajah itu, dimanfaatkan untuk menghindari kebinalan para lelaki penjajah saat mengawasi perempuan-perempuan yang sedang bekerja di ladang atau kebun. Datuk Engku Mudo Songkal (1862–1927), seorang ulama dan pendiri Masjid Jami Air Tiris, menyuruh perempuan memakai maroguok agar terhindar dari pandangan laki-laki yang bukan mahram. 

Sayangnya, sejak produksi bedak beras (bedak sejuk) beredar di tengah-tengah masyarakat, penggunaan maroguok mulai ditinggalkan. Penggunaan bedak beras itu dianggap memiliki fungsi yang sama dengan maroguok, bahkan lebih praktis dan efisien.*



Loading...


[Ikuti IDNJurnal.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar

Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0813-6567-1385
atau email ke alamat : [email protected] / [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan IDNJurnal.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan
Loading...